KabarDesa.com, Ogan Komering Ulu – Tidak tersedianya irigasi untuk mengaliri sawah dengan air sungai, tidak lantas membuat masyarakat menyerah untuk menanam padi. Sembari menanti pembangunan irigasi dari Pemerintah, warga secara gotong royong membuat irigasi tradisional yang hanya bertahan maksimal untuk 2 musim tanam.
Tradisi membuat irigasi manual nan sederhana yang dilakukan masyarakat petani dihampir setiap desa di Kecamatan Pengandonan, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sulawesi Selatan ini telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Tujuannya agar air sungai Ogan naik dan dapat masuk ke lahan persawahan warga. Sehingga dapat mengairi sawah yang akan di garap padi.
Bagi masyarakat Kecamatan Pengandonan, tradisi ini dilakukan sejak puluhan tahun lalu. Sangat sederhana sekali apa yang dilakukan warga. Membangun irigasi sederhana hanya dengan membuat sarau – sebuah anyaman kayu yang dijalin dengan rotan berbentuk krucut.
Sebagai penyangga agar irigasi tersebut kokoh, warga mengisi anyaman dengan batu berukuran kepala manusia, atau sering dikenal dengan sebutan batu bujang.
Seluruh warga yang memiliki lahan persawahan dihilir sungai, wajib mengikuti “ritual” pembangunan Sarau ini. Jika tidak hadir pada saat pengerjaan irigasi ini, dalam sehari denda yang harus dibayar sebesar Rp 200 ribu.
“Kalu lah nyiapkan serane tapi dek milu begawi kian kene dende Rp 200ribu, bakmane amun dekde nian milu dekde pule nyiapkan bahan, (ya kalau sudah menyiapkan alat tapi tidak ikut gotong royong akan kena denda sebesar Rp 200 Ribu),” tutur salah seorang warga desa Gunung Kuripan, saat proses pembangunan Sarau untuk areal persawahan di desa ini.
Aturan denda untuk yang tidak hadir pada proses Gotong Royong, sudah disepakati sejak turun temurun. Meski tak tersurat, namun aturan tersebut tersirat. Tak satupun warga yang memiliki areal persawahan berani melanggarnya.
Nah, sebelum memulai pembangunan irigasi, setiap warga yang memiliki bidang sawah wajib menyediakan sejumlah peralatan. Berupa sarau, pelupohan yakni bambu yang dianyam untuk menahan air atau dapat pula dig anti dengan papan babiran kayu, 5 batang petunggul, berupa kayu yang berukuran panjang 2 meter yang akan dijadikan patok untuk menahan Sarau yang berisi Batu, serta sebatang bambu yang masih bulat.
Tak hanya di Kecamatan Pengandonan saja, hal serupa pun dilakukan warga di Kecamatan Ulu Ogan. Aturan yang berlaku pun tak jauh beda, tetapi ada perbedaan nama dari masing-masing benda yang harus disiapkan. Sementara fungsi benda yang harus disiapkan tetap sama.
Jika di Kecamatan Pengandonan sistem denda yang diberlakukan ada sedikit perbedaan dengan tradisi di kecamatan Ulu Ogan. Memang denda tetap dipakai, hanya saja jika si terdenda enggan membayar denda, maka setidaknya 2 kali musim tanam sawah milik warga yang melanggar tersebut tak dapat air dari aliran sugai yang telah dibangun irigasi manual nan sederhana, alias Kanglungkang.
”Gawi bak ini lah kami gawikan jak pulohan tahun luni, nah, amun ade ye nak besawah tapi dek milu mbangun tebat ni, lah dipastikan sawahnye dekkan hule ayakh ndai tebat ni, paleng ngandalkan ujan tulah, (kerja sama seperti ini sudah kami lakukan selama puluhan tahun lalu, jika ada yang akan menggaarap sawah tapi tak ikut gorong royong, asti sawahnya tidak akan dapet air dari irigasi maual ini, paling hanya mengandalkan curah hujan saja),” ujar Zulkaeda, salah seorang warga kecamatan Ulu Ogan.
Terkait denda yang dipasang untuk warga yang tak hadir saat gotong, dana yang terkumpul akan dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang bekerja saat proses gotong royong. Tidak masuk kas desa ataupun kas kelompok tani. Namun akan digunakan untuk kepentingan bersama, seperti kebutuhan pembuatan bendungan, hingga konsumsi kegiatan. (Deni A. Saputra/ Ogan Komering Ulum)
- Dengan ini saya menyetujui bahwa tulisan yang saya kirimkan ini adalah tulisan hasil karya sendiri bukan saduran dari media/sumber lain. Dan tulisan ini hanya untuk dipublikasikan di media KabarDesa.com. Apabila saya melanggar, tulisan ini siap diturunkan oleh Admin.