Kabardesa.com, Lahat – Mulai berkurangnya pengetahuan dan rasa bangga atas nilai budaya daerah tentu sangat memprihatinkan. Banyak aset budaya daerah yang dulu menjadi kebanggaan, kini mulai luntur digeser oleh sejumlah budaya luar yang belum tentu sesuai dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat.
Kepedulian banyak pihak tentu sangat diharapkan untuk melestarikannya. Khasanah budaya suatu daerah belum menjadi perhatian serius oleh banyak pihak, baik itu oleh pemerintah daerah maupun masyarakat itu sendiri.
Sekolah bisa menjadi salah satu wadah untuk dijadikan media dalam usaha pelestarian ini. Karena di sini (sekolah) dapat memberikan ruang bagi usaha pelestarian budaya itu. Apalagi sekolah memang diarahkan untuk memberikan sebuah nilai lebih dari sekedar pendidikan formal.
Di sana juga dapat dilakukan penyisipan pendidikan berbasis muatan lokal, sehingga nilai kebudayaan dapat terus dilestarikan dan terjaga keberadaannya dalam konteks nilai kearifan lokal.
Hal ini juga menjadi perhatian pihak sekolah, seperti yang dituturkan oleh Isdinana, S.Pd, Kepala Sekolah SD N 4 Kota Agung Lahat. Disela-sela kegiatan OS2N, FLS2N dan MIPA tingkat kecamatan ini, yang dipusatkan di sekolah tersebut, dia menyebutkan dalam kegiatan seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat (Kemendikbud) seperti dalam kegiatan ini bisa menjadi langkah awal dalam pelestarian budaya daerah tersebut.
“Kami memang berharap banyak ada sebuah gerakan pelestarian budaya daerah melalui jalur pendidikan formal di sekolah, karena untuk saat ini harus diakui bahwa kebudayaan daerah telah banyak hilang dan tidak diketahui oleh para generasi muda (siswa) kita.
Padahal secara kelembagaan, pemerintah terus mengakomodir pelestarian itu dengan sejumlah program yang diintegarasikan ke dalam kegiatan sekolah. Hanya untuk saat ini kita masih terbentur dengan siapa kita harus belajar tentang budaya dan seni yang menjadi ciri khas daerah kita itu,” tuturnya.
Masih kata Isdianah, contoh kecilnya adalah kesenian daerah, tari daerah yang dulu menjadi tradisi hiburan warga mulai tersinggkirkan dengan hadirnya kesenian yang berasal dari budaya modern. Jarang sekali kita lihat ada desa riuh dengan kegiatan belajar tari daerah seperti dahulu.
“Itu baru untuk khasan budaya jenis tarian, yang paling sering dipergunakan sehari-hari saja, bahasa daerah kita adalah contoh lain, kini banyak anak-anak yang tak telalu paham dengan penggunaan bahasa daerah yang sebenarnya.
Padahal bahasa itu adalah media percakapan keseharian kita di rumah dan lingkungan sekitar. Bahasa yang digunakan sekarang ini telah banyak tercampur dengan pengaruh bahasa pergaulan, akhirnya makna bahasa menjadi tak jelas (rancu),” jelasnya.
Kemudian Isdianah mengungkapkan, kalau menggunakan bahasa Indonesia yang benar tentu tak masalah, tetapi dengan pergeseran ini, kebanggaan akan budaya daerah seolah tak lagi dimiliki, terkesan “norak” bila menggunakan bahasa daerah.
“Padahal tak akan dikatakan orang bila kita bangga dengan terus melestarikan bahasa daerah bila sesuai dengan tempat dan situasinya. Kita juga berharap pemerintah daerah melalui instansi terkait punya kepedulian lebih dengan pelestarian khasanah budaya daerah ini.
Dan masih banyak lagi sisi kebudayaan daerah yang seakan menjadi cerita lama yang tak perlu dilestarikan. Generasi muda memang harus punya motivator untuk melestarikannya. Harus ada orang atau lembaga yang khusus mendorong pelestarian budaya daerah ini,” paparnya, Kamis (16/2).
Hal yang sama juga dikemukahkan oleh Dinda, salah satu guru bahasa Indonesia dan sastra didaerah ini. Menurutnya sampai saat ini mereka hanya mengajarkan sesuai dengan kurikulum yang ada.
Dia bahkan belum mendengar ada semacam kurikulum muatan lokal dalam upaya pelestarian budaya daerah tersebut. Kalaupun ada itu baru sebatas niatan sekolah saja, dia memang telah mengetahui ada beberapa sekolah yang telah menerapkan pelajaran muatan lokal bahasa daerah.
“Tetapi hal ini harus ada standar pelaksanaan dan penerapannya, bagaimana suatu pelajaran yang diajarkan dengan baik bila tak didukung dengan kurikulum yang jelas. Walau dalam penerapan kurikulum pihak Kemendikbud telah mengakomodir hal ini.
Buktinya guru muatan lokal bahasa daerah telah diakui oleh pihak Kemendikbud dalam proses sertifikasi profesinya, asal dalam penerapanya kurikulum muatan lokal ini telah ditetapkan sebagai mata pelajaran oleh pemerintah daerah (SK kepala daerah tentang penetapannya telah ada),” ujarnya.
Masih kata Dinda, kini tinggal pihak terkait merespon kondisi ini, supaya kebanggaan akan budaya daerah kembali lahir untuk generasi yang akan datang. Jangan lagi mengatakan kita memiliki banyak khasaan dalam kebudayaan, tetapi dalam pelestariannya kita tidak bisa.
“Jangan salahkan generasi muda kini tidak bangga dan tak tahu dengan budaya daerah, karena mereka memang tak tahu dengan kebudayaan yang diwariskan oleh pendahulu mereka.
Kita harus akui bahwa daerah lain bisa menjadikan budaya daerah sebagai nilai jual dan kebanggaan, sebab didaerah mereka, kebudayaan itu masih lestari dan diwariskan dari masa ke masa,” katanya.
“Pendidikan (sekolah) adalah salah satu sarana dalam pelestarian budaya itu, selain dilingkungan masyarakatnya sendiri, jangan katakan daerah kita punya banyak budaya bila saat ini banyak generasi muda yang tak tahu budaya mereka seperti apa,” tukasnya.