Kabardesa.com, Lahat – Sebagai salah satu daerah yang menjadi daerah penyanggah pangan di Kabupaten Lahat, beberapa kecamatan seperti Kecamatan Kota Agung, Mulak Ulu, Tanjung Tebat dan Pagar Gunung tentu punya kontribusi suplai beras bagi kabupaten yang populer dengan sebutan Seganti Setungguan ini.
Di Mulak Ulu dengan potensi beras yang melimpah membuat beberapa warga setempat mulai tertarik untuk menjadikan komoditi pangan ini sebagai nilai tambah. Sehingga ini merupakan salah satu cara untuk menambah pendapatan warganya.
GAPOKTAN ‘Lirik Jaya’ Desa Sengkuang, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat contohnya, Gabungan Kelompok Tani ini mencoba memberikan nilai tambah agar tidak sekadar menjual beras dalam bentuk kiloan saja. Mereka berinovasi dengan mengemas beras yang berasal dari daerah sekitar yang dikumpulkan saat panen tiba.
Untuk kemasan, dengan menggunakan plastik transparan yang telah dilabeli merek “Toko Petani” dengan ukuran 5 kilogram per kemasan. Saat ini produk beras sudah mulai beredar di masyarakat. Bahkan sejak setahun terakhir omzet penjualan beras lokal ini mulai menunjukkan peningkatan walau belum terlalu tinggi.
Dengan kemampuan pengemasan sekitar 5 kwintal per bulannya, pemasaran beras kemasan lokal ini mulai menyisir ke sejumlah daerah. Dengan perkembangan ini kami menyempatkan diri mengunjungi pusat kegiatan di Desa Sengkuang.
Sayangnya saat kami datang kegiatan pengemasan tidak dilakukan oleh anggota Gapoktan ini. Beruntung saat itu sempat berbincang dengan Nidi, Ketua Gapoktan Lirik Jaya. Pada awal perbincangan dia menguraikan apa yang dilakukan adalah salah satu upaya memberikan nilai lebih dari sebuah hasil pertanian yang merupakan produk lokal daerah ini.
“Kami coba untuk memberdayakan potensi pertanian, memberikan nilai tambah untuk dijadikan tambahan bagi pendapatan anggota kita, memang setiap ada kegiatan pengemasan kita lebih mengutamakan anggota yang ada (terutama wanita).
Hanya sampai saat ini kita masih terkendala pasokan berasnya yang masih bergantung pada waktu musim panen saja. Itu pun kalau anggota kita lagi banyak yang melakukan penjualan, sedangkan bila suplai tengah berkurang, kita terpaksa mencari atau mengambil dari daerah sekitar,” urai Nidi.
Masih kata dia, saat ini penjualan masih mengandalkan promosi manual, brand beras lokal ini masih sedikit diketahui khalayak ramai. Mereka juga masih berharap akan ada pembinaan yang lebih intensif dari pihak terkait, mengingat kemampuan manajemen yang ada masih sangat minim.
“Untuk pemasaran, kita hanya mengandalkan pesanan dari salah satu jaringan kita di Lahat, dengan kata lain kalau mereka membutuhkan kita baru siapkan produk untuk dikirim ke sana. Dan ini masih tak tentu karena juga bergantung pada penjualan yang ada, kalau tengah banyak pasti mereka akan minta suplai tambahan.
Sebaliknya bila permintaan kurang, tentu harus dihabiskan dulu stok yang ada di Lahat, baru setelah dirasa kurang suplai minta ditambah,” ungkapnya.
Mereka juga mengapresiasi kepada pihak yang telah ikut membantu perkembangan usaha Gapoktan ini. Sampai saat ini secara berkala terus melakukan pembinaan dan pengawasan.
“Harga per kilonya di tingkat kelompok Gapoktan ini dipatok pada kisaran Rp 7.000 hingga Rp 7.700, sedangkan untuk harga eceran di tingkat pedagang mereka mengambil selisihnya, untuk saat ini HET per kilogram berada pada kisaran Rp 8.000 saja.
Kami masih terus berusaha meningkatkan kapasitas produksi yang ada, tentu dukungan semua pihak harus makin dioptimalkan. Semoga kedepan kesadaran anggota dan masyarakat daerah kita bisa memanfaatkan usaha kelompok ini,” paparnya, Minggu (22/10).
Mengamati perkembangan usaha kelompok gapoktan ini, tentu menjadikan pemikiran dari Kepala Desanya, Efri. Kepala desa tersebut memang telah menjadikan usaha ini sebagai salah satu program pengembangan dan salah satu produk unggulan desa mereka.
“Sampai saat ini di daerah kita belum ada usaha pengemasan dan penjualan beras dengan merek tertentu. Kami tentu sangat bangga dengan inovasi dari warga kita ini, apalagi sebagai penggagasnya adalah orang yang pernah memimpin desa kita.
Beberapa pihak memang telah kita jajaki untuk dijadikan pembina usaha warga desa ini, tetapi untuk waktu dekat belum ada respon yang meyakinkan. Mungkin kita harus lebih agresif untuk meyakinkan pihak-pihak tersebut, biar ada mereka lebih percaya bahwa kita memang sungguh-sungguh menekuni usah ini,” terangnya.
Tentu pemasaran yang ada masih perlu dibantu, kata Efri lagi, memanfaatkan kemajuan teknologi menjadi salah satu pilihannya. Selain itu kita juga bisa mengundang kawan-kawan media untuk dijadikan ajang publikasi secara luas dan sistematis.
“Kami patut berbangga kedatangan salah satu media yang memang mengangkat pemberitaan tentang desa di daerah kita. Tentu hasil liputannya harus dibagikan juga, biar kian banyak orang tahu bahwa kita produk lokal dengan kualitas baik yang patut dibanggakan.
Kalau bisa bersinergi, akan kian mantab kerjasama ini, salut kami sampaikan ternyata ada orang yang perduli dengan usaha warga kita ini. Bisa saja apa yang dilakukan ini membuat usaha kelompok yang masih kecil ini secara perlahan makin dikenal orang luar,” katanya lagi.
Hanya yang menjadi kendala seperti yang dikemukakan bisa menjadi pekerjaan rumah semua pihak, baik oleh gapoktan, pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan hal ini.
“Mari kita angkat potensi lokal dengan brand nasional, untuk memberikan pendapatan dan kesejahteraan warga petani di daerah kita ini,” pungkas Efri.